(Sumber gambar dari Google) |
Pada suatu masa di negeri Nusa Barokah hiduplah tiga sekawan bernama
Abdul Murosidin, Abdul Muffasirin dan Abdul Muhaqiqin, mereka menjadi
tiga serangkai ketika dipertemukan di pondok pesantren, yaitu pondok pesantren Darul Ilmi Nur Sukma Rasa.
Senja di bulan sya’ban, terlihat pemandangan yang begitu indah
menghiasi langit, cahaya berwarna jingga menyelimuti awan yang
memanjang bagai permadani yang terhampar luas, rupanya itu cahaya
lembayung yang hendak memberikan salam perpisahan bahwa ia akan
segera pergi dan digantikan oleh malam, tak lama setelah itu
terdengar alunan suara yang mengayun tinggi rendah, begitu merdu,
alunan suara itu layaknya nada dan ritmik instrumental untuk
memanggil jiwa-jiwa yang haus akan cinta dan kerinduan kepada sang
Maha Cinta. Seruan adzan.
Seusai shalat maghrib, terlihat dua orang pemuda keluar
dari masjid Jami Nur Sejati, yaitu Abdul Muffasirin dan Abdul Murosidin, sambil kembali pulang menuju Pondok, Abdul Murosidin bertanya kepada
Abdul Muffasirin.
“Wahai Abdul Muffasirin apa arti sholat bagimu?”. Tanya Abdul
Murosidin
“Sholat itu adalah perintah Allah, bagiku sholat adalah akronim
dari tiga huruf, yang terdiri dari huruf Shad, Lam dan
Ta.
Arti dari huruf Shad bagiku adalah Shidqul Qauli yaitu
benar bicaranya, ia hanya
berbicara yang benar dalam artian menjaga lisannya dari hal-hal yang
bisa mendatangkan dosa ataupun kemurkaan Allah, ia hanya
mempergunakan lisannya untuk mengatakan sesuatu yang baik lagi benar
sesuai apa yang Rasullullah
Muhamad SAW ajarkan.
Yang kedua adalah huruf Lam,
aku mengartikannya dengan Layyinul Qalbi
yaitu mudah luluh hatinya,
lembut hatinya, dia tidak mudah marah, tidak pendendam, mudah
memaafkan, dan selalu berbesar hati untuk memohon maaf bila terdapat
kesalahan dalam dirinya, segera menyadari setiap kesalahan yang
diperbuatnya, selalu berusaha menghindari sikap iri dengki, selalu
berhusnudzon terhadap segala apa yang menimpa dirinya, memiliki
kesabaran yang luas dalam hatinya, karena yang membatasi kesabaran
adalah dirinya sendiri.
Dan huruf Ta nya
adalah Tarkul Ma’asi
yaitu menjauhi jalan maksiat,
jangankan maksiatnya, baru jalan menuju maksiatnya saja sudah dijauhi
apalagi perbuatan maksiatnya, misalnya
zina adalah perbuatan maksiat, maka jalan menuju kemaksiatan zina
tersebut akan ia jauhi, yaitu tidak berduan-duan dengan yang bukan
muhrim, menghindari khalwat dengan yang bukan muhrim, jalan
maksiatnya saja sudah sangat ia hindari apalagi perbuatan maksiatnya,
ia selalu berusaha menjaga diri dari perbuatan yang bisa menyebabkan
dirinya melakukan maksiat.
Itulah arti sholat bagi diriku, ia
dikatakan benar-benar mendirikan sholat ketika sholatnya itu
Inna Sholaata tan-haa
anil fahsya’i wal mungkar (QS
Al Ankabut [29]: 45) yaitu
mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, bila
ada orang yang sholat namun masih berlaku zhalim dan buruk akhlaknya
maka pada hakikatnya ia belum mendirikan shalat secara utuh, ia hanya
melaksanakan sholat secara fisik atau jasadiyah saja, akan tetapi
batinnya, ruhaninya, jiwanya belumlah sholat, itu disebabkan karena
ia hanya mempelajari tata cara sholat namun tidak mau mencari ilmu
tentang sholat itu sendiri.
Maka sholat bagiku memiliki arti
Shidqul Qauli (Berbicara
benar, menjaga lisan), Layyinul Qalbi
(mudah luluh hatinya, lembut hatinya, penyabar, tidak mudah marah,
tidak pendendam, hatinya gelisah ketika dirinya kedapatan melakukan
dosa), dan Tarkul Ma’asi (menjauhi
segala jalan yang bisa menjerumuskan kepada maksiat).
“Untuk kali ini aku setuju dengan
pendapat mu” ungkap Abdul Murosidin
“Barang siapa yang beramal tanpa
ilmu maka itu bagaikan buih di lautan, bagaikan
debu yang berterbangan, apa
yang sudah dikerjakannya menjadi sia-sia, Wallahua’lam”. ungkap
Abdul Muffasirin.