Dilema PPKM Darurat, Ketika Terjadi Benturan antara Aparat vs Masyarakat


Tidak bisa dipungkiri jika kondisi pandemi di Indonesia saat ini bisa dikatakan mungkin sudah mencapai level “agak” darurat, khususnya di Jawa-Bali. Walaupun, sebenarnya bila melansir dari Worldometers, bahwa per 13 Juli 2021, Indonesia memiliki jumlah angka kasus sebanyak 47.889, jumlah itu bukan saja menjadikan Indonesia dengan kasus Covid-19 tertinggi di Asia, tapi juga di seluruh dunia. Oleh sebab itu, karena angka kasus kenaikan Covid-19 semakin tinggi, maka mau tidak mau, tentu saja pemerintah Indonesia harus segera bertindak mengeluarkan kebijakan dengan cepat, agar kasus kenaikan bisa ditekan dan tak semakin parah.



Terlebih, beberapa rumah sakit sudah kewalahan dan tidak bisa menampung pasien, stok oksigen yang kian menipis, serta banyak tenaga kesehatan yang berguguran dan bahkan ada beberapa berita yang mengabarkan jika ada pasien yang melakukan isolasi mandiri meninggal dunia, karena tak terpantau dengan baik, tentu hal ini sangat mengkhawatirkan.


Untuk menekan angka kenaikan kasus Covid yang semakin menjadi-jadi, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan PPKM darurat. Beberapa waktu yang lalu, kita semua melihat video viral adu mulut seorang pemilik angkringan di lampung dan pemilik usaha warung di beberapa wilayah di Jawa Barat dengan para aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya.


Di dalam sebuah cuplikan video yang viral, aparat keamanan tersebut geram, karena si pemilik warung enggan menutup usahanya, justru malah mendebat aparat, sehingga terjadilah cekcok dan adu mulut yang kemudian viral di dunia maya. Si pemilik warung mengeluarkan “uneg-uneg” yang kemudian membuat sang aparat terdiam, pasalnya, ia mengatakan kurang lebih seperti ini “Bapak enak berseragam, digaji tiap bulan. Kalau kami bagaimana Pak, nih borgol tangkap saja saya”.


Sebenarnya, bila kita telaah, titik masalahnya bukan soal ketidaktaatan pemilik warung yang tidak mau menutup usahanya, bukan juga karena petugas aparat yang dianggap arogan dalam menegakan aturan. Intinya hanya satu, yaitu mereka semua memikirkan bagaimana cara bertahan hidup, si pemilik warung enggan menutup warungnya, karena ia tak dijamin segala kebutuhannya.


Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biasanya ia dapatkan dari usaha warung miliknya, bila kita egois, seperti yang pernah saya baca dari komentar para buzzer yang mengatakan “ya cari aja usaha yang baru, memangnya usaha, nyari rezeki cuma warung doang”, ini sungguh logika yang keliru dan sangat ironi, pun tidak semudah yang dibayangkan untuk memulai usaha baru di kondisi seperti ini.


Karena, kita ketahui bahwa salah satu dari kebijakan PPKM darurat adalah meminta para pemilik usaha tertentu, seperti café, ritel, pecel lele, warung makan, tukang nasgor, dan usaha lainnya yang memang aktifitasnya dimulai dari sore hari hingga malam, untuk menutup usaha atau warung mereka, dibatasi hanya sampai pukul 20.00. Ini bukanlah solusi, karena kebijakan seperti ini, ibarat menutup satu masalah yang kemudian memunculkan masalah baru.


Kita akui bersama, mungkin agak berat dan akan menelan banyak biaya untuk memberikan jaminan kepada setiap UMKM, pedagang ataupun usaha yang terdampak akibat adanya kebijakan PPKM darurat ini, maka sebenarnya ada solusi alternatif lain terhadap kebijakan PPKM ini. PPKM mungkin tetap dijalankan, hanya saja dengan perubahan beberapa kebijakan dan aturan di dalamnya.


Misalnya, usaha kuliner ataupun makanan tetap diperbolehkan membuka usahanya, asalkan dengan syarat tidak boleh dine in alias  tidak boleh makan di tempat, para pedagang hanya dibolehkan melayani take away, yaitu makanan dibawa pulang. Agar lebih aman, pemerintah bisa menggandeng platform digital seperti gojek maupun grab, ataupun platform lokal untuk pesan antar makanan, para pembeli dan pedagang diberikan diskon subsidi untuk biaya ongkos kirim, sehingga harganya bisa lebih terjangkau.


Dari pada melakukan penutupan paksa, sedangkan kebutuhan hidup mereka (para pemilik warung dan usaha) pun tidak bisa dijamin oleh negara, maka lebih baik dibolehkan berjualan, hanya saja dengan syarat tertentu yang tak mengundang aktifitas kerumunan. Buatkan aturan khusus, misalnya yang diperbolehkan aktifitas dan melewati posko penyekatan PPKM di antaranya yaitu para penyedia layanan daring seperti gojek, grab dan yang sejenis agar bisa membantu layanan take away makanan.


Kemudian, warung tersebut harus menerapkan protokol kesehatan dan kebersihan serta aturan jaminan higienitas makanan. Dengan demikian, aktifitas ekonomi bisa tetap berjalan, protokol kesehatan berjalan efisien dan masyarakat pun tidak ada yang main petak umpet, kucing-kucingan atau pun adu mulut dengan aparat keamanan, yang pada akhirnya bisa menimbulkan konflik horizontal.


Aparat keamanan cukup mengawasi terkait penegakan protokol kesehatan yang dilakukan oleh pedagang, bila ada pedagang nakal yang masih melayanai dine in misalnya, maka bisa diberikan peringatan terlebih dahulu, bila sudah melanggar beberapa kali, barulah diberikan sanksi.


Jangan sampai terjadi seperti pada kasus Asep Lutfi Suparman (23), pemilik warung kopi yang viral di berita, karena bersitegang dengan aparat, dan akhirnya harus berujung masuk bui, dibotaki dan dimasukan ke sel tahanan para kriminal. Padahal, apa yang dilakukan oleh Asep, bukanlah tindakan kejahatan kriminal, hanya sebuah pelanggaran, itu pun karena ia memikirkan bagaimana agar anak istri bisa makan, agar ia dan keluarganya bisa bertahan hidup.


Jangankan membayar denda sebesar lima juta rupiah akibat melanggar PPKM karena memaksa tetap buka warung, padahal, pemasukan saja tak ada. Semoga ada kebijakan yang lebih humanis dan solutif untuk masyarakat, khususnya bagi mereka yang menggantungkan usaha dan mata pencaharian melalui usaha kecil.


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama