SCALEUPJOURNEY - Kaum perempuan kerap kali dianggap lemah tak berdaya dan menjadi sasaran korban dari berbagai kondisi dan situasi.
Padahal, peran kaum perempuan amat besar ketika diberikan peluang dan kesempatan yang sama seperti kaum laki-laki.
Bagi sebagian masyarakat yang masih kolot dalam pemikiran, perempuan masih dipandang dan dianggap sebagai pelayanan atau makhluk kelas 2.
Pada abad yang lalu, tepatnya di sebagian besar wilayah Eropa, sebelum zaman pencerahan dan ilmu pengetahuan berkembang luas, perempuan kerap kali ditindas dan direndahkan. Bahkan mungkin sampai saat ini, di beberapa tempat, hal itu masih berlaku.
Perempuan hanya dijadikan sebagai alat dan diperlakukan sebagai pelayan, dieksploitasi tanpa henti. Pun ketika mereka menjadi pekerja buruh, mereka dibayar sangat murah sekali, bahkan hanya sepertiga dari gaji yang didapatkan oleh kaum laki-laki.
Perlakuan dan hal semacam itu tidak terlepas dari bagaimana cara pandang masyarakat secara kolektif terhadap kaum perempuan.
Pola pikir inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap bagaimana perempuan diperlakukan atau bagaimana perempuan memperlakukan dan memandang dirinya sendiri.
Apalagi dalam budaya Timur, banyak sekali berbagi aturan kolot dan tidak relevan terhadap kondisi kaum perempuan.
Perempuan dipaksa untuk diam dan menerima segala kondisi yang dihadapinya, hal itulah yang menyebabkan kenapa pada masa yang dulu, bahkan sampai saat hari ini, kerap terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau hubungan yang bersifat dominasi antara laki-laki dan perempuan.
Melihat kondisi yang demikian mengenaskan dialami oleh kaum perempuan Eropa saat itu, maka muncul lah filsuf perempuan progresif asal Perancis, bernama Simone De Beauvoir, yang merupakan salah satu penghulu pergerakan kaum perempuan, ia telah membuka lebar-lebar mata kaum perempuan tentang kondisi ketimpangan dan mengerikan yang dialami oleh kaum perempuan.
Baca juga : Membangun Mental Resilience
Sekilas tentang biografinya, dikutip dari Wikipedia, Simone de Beauvoir (diucapkan [simɔn də boˈvwaʀ] dalam bahasa Prancis; 9 Januari 1908 – 14 April 1986) adalah tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Prancis yang terkenal pada awal abad ke-20 dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan ilmu sosial. Ia dikenal karena karyanya dalam politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama karya Le Deuxième Sexe yang diterbitkan pada tahun 1949.
Sebelumnya dan mungkin sampai saat ini, perempuan selalu dianggap hanya sebagai objek seksual dan dieksploitasi semata, perempuan selalu dianggap lemah dan tak bisa mandiri.
Posisinya selalu dianggap lebih rendah dari pada kaum laki-laki, hal ini bukan berarti gerakan ini ingin melawan dominasi atau membenci kaum laki-laki.
Tapi, yang ditekankan oleh Simone De Beauvoir adalah, ia ingin jika kaum perempuan diperlakukan dengan setara, penuh dan utuh. Bukan sebagai pelayan, bukan berjalan di depan atau belakang, tapi berjalan beriringan.
Baca juga : Filosofi Pesawat Kertas
Menjadikan perempuan sebagai rekan atau mitra untuk saling belajar bersama, bukan saling mendominasi satu sama lain. Bukan menjadi pelayan, tapi saling melayani satu sama lain.
Menjadi utuh dan penuh adalah bagaimana perempuan diberikan dukungan dan kesempatan untuk memilih, memutuskan dan menjadi seperti apa yang diinginkannya, diberikan kesempatan untuk menggapai harapan dan cita-citanya, berdasarkan prinsip-prinsip nilai kemanusiaan dan etika moral universal, tanpa adanya penghakiman apalagi pengekangan yang bersifat mitos. (Dipa Amarta Wikrama / Sanik Radu Fatih).***