SCALEUPJOURNEY - Hai sahabat Journian, semoga sahabat gak bosen-bosen buat berkunjung ke Scale Up Journey terus ya, semoga semangat untuk terus bertumbuh dan berkembang bareng Scale Up Journey.
Semoga terus semangat berkunjung dan membaca setiap artikel baru yang ditulis oleh Kak Dipa Amarta Wikrama / @sanikradufatih di Scaleupjourney.my.id, karena, tak ada yang lebih diinginkan oleh Kak Dipa selain menyisakan jejak hidup yang bermanfaat walau hanya sekedar tulisan.
Oke deh, kali ini, Scale Up Journey akan mengupas tentang "Soulfulness, Manusia, Lupa, Kerja dan Uang Sampai Mati".
Kita akan bahas secara ringan dan singkat, pertama, apa sih soulfulness itu? Soulfulness adalah istilah baru yang diciptakan oleh kak Dipa Amarta untuk menggambarkan keadaan jiwa yang sadar secara utuh dan penuh, yaitu keadaan jiwa atau perasaan batin yang tak lagi terikat atau terpengaruh oleh sesuatu yang ada di luar diri.
Fokus menggali dan mengenali sang diri dan kehidupan yang dijalani, memberikan perhatian penuh kepada sang diri atau jiwa, membawa semua ke-fokusan dan penghayatan mendalam hanya kepada diri di saat ini, momen ini dan detik ini.
Soulfulness adalah kondisi di mana ketika jiwa seseorang telah memahami makna dan puncak pencarian atau tujuan hidup yang paling sejati.
Lalu, apa kaitannya antara "soulfulness, manusia, lupa, kerja dan uang sampai mati."
Ketika seseorang tak memiliki kesadaran akan sang jiwa, maka ia akan lupa terhadap diri kemanusiaannya sendiri, ia lupa makna dirinya sebagai manusia, atau bahkan ia lupa jika dirinya adalah manusia.
Karena, saat ini, banyak manusia yang merasa dirinya hidup, namun, dia tidak sadar dengan kehidupan yang dijalaninya, ia tak tahu hakikat dirinya sebagai manusia, bahkan ia tak tahu tujuan dari kenapa ia harus menjalani hidup. Manusia telah lupa akan dirinya, iya betul, manusia LUPA.
Lupa memang bukanlah masalah, lupa adalah sifat alamiah manusia, tanpa sifat lupa, tentu saja manusia akan banyak menderita, begitu banyak hal dan kenangan pahit jika manusia tidak memiliki sifat lupa, karena, ia akan terus menyimpan luka dan pedih dalam ingatannya.
Akan tetapi, melupakan sesuatu yang sejati adalah sebuah kecelakaan besar, misalnya ketika seseorang hendak pulang ke rumahnya, tapi ia lupa jalan menuju rumahnya, maka bagaimana mungkin ia akan sampai.
Baca juga : Resolusi Tak Ter-realisasi, Inilah Penyebabnya
Tapi, biasanya, sifat lupa itu muncul bisa karena disebabkan oleh satu hal, dalam hal kehidupan manusia, yang membuat manusia lupa akan ke-sejatian jiwa dan dirinya sebagai manusia adalah "materil oriented", paham inilah yang membuat banyak manusia lupa akan dirinya sendiri.
Banyak manusia yang lupa akan tujuan sejati dirinya di dunia dan kehidupan ini, manusia disibukkan dengan penilaian remeh dunia, mengejar dan mencari mati-matian kertas bertuliskan angka bernominal (uang), mengejar pujian kosong dari mulut manusia, berlomba-lomba dengan secuil title atau jabatan yang disematkan di kerah baju, dada atau bahu.
Manusia memang perlu bekerja, manusia memang perlu uang untuk menjalani kehidupan di era sistem ekonomi seperti ini, tapi, bukan itu sesungguhnya tujuan utama manusia dilahirkan dan hidup di dunia ini.
Apakah tujuan sejati kita (manusia) dilahirkan ke dunia ini?
Apakah Tuhan menyuruh kita untuk "jadilah kaya raya", "milikilah pangkat yang banyak", "raup lah uang sebanyak-banyaknya", "jadilah orang terpandang yang dihormati banyak orang", kerja dan cari uang sampai mati, tumpuk lah uang, kejar lah uang, sampai kamu lelah tak berdaya, uang, uang, uang dan mati."
Apakah itu tujuan manusia hidup di dunia?
Apakah serendah dan se-sempit itu tujuan kita dilahirkan ke dunia?
"Material oriented" dalam bungkus ekonomi kapitalis telah membuat manusia lupa akan tujuan hidupnya yang sejati. Padahal, tujuan kita di dunia ini hanya lah untuk belajar dari kehidupan dan terus melakukan penyempurnaan jiwa serta membangun kesadaran sang diri, agar bisa kembali kepada asal kita yang sejati, yaitu Tuhan.
Bekerja dan mencari uang hanya lah kegiatan untuk mengisi waktu luang dan syarat untuk sekedar bisa hidup di dalam sistem ekonomi.
Tapi, bukan berarti kita tidak perlu bekerja atau mencari uang, bekerja dan mencari uang secukupnya saja, tak perlu sampai mati-matian apalagi sampai menimbulkan sifat serakah dan tamak.
Sisihkan waktu untuk mempelajari dan mengenali sang diri, sediakan waktu untuk menyelami, memaknai dan menghayati diri serta kehidupan yang dijalani, agar kita bisa menemukan hakikat yang sejati dari hidup ini, agar kita tahu, mau dibawa kemana, mau bagaimana, dan mau seperti apa hidup yang akan dijalani.
Sudahkah ingatan itu tumbuh di dalam sanubari dan diri, ingatan tentang janji sang diri untuk mengingat Diri-Nya. Ia yang berkesadaran di atas kesadaran tertinggi, bahwa Ia Sang Kesadaran Tertinggi, ingin kita kembali kepada-Nya dengan kondisi jiwa yang tenang dan tentram, Ia ingin kita kembali pada-Nya dengan jiwa yang penuh kedamaian dan ketenangan.
Tapi, bagaimana mungkin jiwa akan damai, bagaimana mungkin jiwa kita akan tentram dan tenang, jika diri ini lupa dan terus tenggelam dalam pengejaran terhadap ilusi dan tipuan "Material Oriented", uang, pujian dan pengharapan terhadap penghormatan kosong manusia, kerja, kerja, kerja, uang, uang, uang, MATI.
(Dipa Amarta Wikrama / @Sanikradufatih).***